[a.] tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir [sebelumnya hanya dua tahun];
[b.] penyampaian SPT Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Nopember tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut;
[c.] SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya;
[d.] tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, meliputi keadaan pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak Patuh dan tidak termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan;
[e.] laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian [WTP] selama tiga tahun berturut-turut dengan ketentuan:
Laporan audit harus:
[e.a.] disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi Wajib Pajak yang wajib menyampaikan SPT Tahunan; dan
[e.b.] pendapat akuntan atas laporan keuangan yang diaudit ditandatangani oleh akuntan publik yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawas akuntan publik; dan
[f.] tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir [sebelumnya 10 tahun] ; dan
Keuntungan menjadi Wajib Pajak Patuh adalah adanya perlakuan khusus untuk restitusi PPh dan PPN. Untuk restitusi PPh paling lama 3 bulan dapat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Sedangkan PPN paling lama 1 bulan.
Selain itu, Wajib Pajak Patuh mendapat perlakuan khusus dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. P-11/BC/2005 dan P-24/BC/2007 menyebutkan bahwa Wajib Pajak Patuh mendapat fasilitas Mitra Utama (MITA) sehingga atas impor yang dilakukan bisa melalui Jalur Prioritas.
Hanya saja, saya tertarik dengan Pasal 6 Peraturan Dirjen Pajak Nomor 1/PJ/2008 menyebutkan,
“Wajib Pajak Patuh yang tidak menghendaki diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak harus membuat pernyataan tertulis bersamaan dengan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).”
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor 1/PJ/2008 mengatur bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian dengan SPT atau surat terpisah. Artinya, jika ada permohonan pengembalian baik melalui SPT saja atau dengan surat tersendiri, Kantor Pelayanan Pajak otomatis akan memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi Wajib Pajak Patuh kecuali ada pernyataan tertulis bahwa Wajib Pajak Patuh tersebut menolak. Jika Wajib Pajak Patuh menolak, maka pengembalian pembayaran pajak akan diberikan penuh (bukan “pendahuluan”).
Berdasarkan SE - 09/PJ.53/2006 bahwa Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak harus diterbitkan dalam 7 (tujuh) hari sejak permohonan secara lengkap diterima. Mengapa begitu cepat? Pertama, DJP tidak melakukan pemeriksaan tapi penelitian. Kedua, dalam rangka pelayanan. Tetapi, DJP juga dapat melakukan pemeriksaan atas WP Patuh, dan bisa saja Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak yang telah diterbitkan dikoreksi dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah sanksi 100% sesuai Pasal 17C ayat (5) UU KUP.
Karena itu, saran saya permohonan pengembalian pendahuluan sebaiknya untuk PPN saja untuk menghindari sanksi 100%. Mengapa, restitusi PPh sangat rawan koreksi positif terutama masalah biaya. Pos biaya sering condong ke pendapat pemeriksa. Sedangkan PPN lebih kuat. Jika syarat-syarat yang telah ditetapkan lengkap, maka tidak masalah mengajukan permohonan “restitusi pendahuluan” supaya lebih cepat. Ini tentu akan menolong arus kas (cash flow) masuk Wajib Pajak sebagai modal kerja. Selain itu, restitusi memang hak Wajib Pajak.
0 komentar:
Posting Komentar