Sebagai satu-satunya negara kawasan Asia Tenggara yang masuk ke dalam G-20, kita boleh berbangga karena perekonomian Indonesia dianggap sangat penting bagi perekonomian dunia.
Salah satu butir kesepakatan G-20 adalah program konvergensi standar akuntansi internasional (IFRS) ke dalam standar akuntansi lokal setiap negara. Siapkah Indonesia menjalankannya?
Pada 13 Oktober lalu, Ikatan Akuntan Indonesia melakukan public hearing untuk menerbitkan exposure draf enam standar akuntansi baru, empat interpretasi standar akuntansi dan dua pernyataan pencabutan standar akuntansi. Kesan IAI melakukan 'kejar tayang' menyelesaikan standar akuntansi yang sesuai dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) menjadi tidak terelakkan mengingat public hearing 12 produk sekaligus sedemikian belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah akuntansi Indonesia
Banyak pihak yang tampaknya gregetan dengan proses konvergensi IFRS yang terkesan lamban. Target tahun konvergensi IFRS sendiri sudah beberapa kali diubah oleh IAI (lebih tepatnya dimundurkan).
Kendala-kendala teknis dalam menerjemahkan IFRS ke dalam bahasa Indonesia memang tidak dapat dipandang remeh karena keterbatasan bahasa Indonesia menangkap seluruh kata dalam bahasa Inggris dengan makna yang sesuai terlebih istilah-istilah akuntansi dan keuangan. Namun benarkah konvergensi IFRS berjalan lamban karena faktor teknis semata?
Bagaimana dengan kesiapan profesi-profesi lainnya dalam proses konvergensi IFRS ini? Terutama profesi akuntan publik (auditor), penilai (appraiser dan business valuer), dosen-dosen akuntansi, juga para akuntan manajemen di dalam perusahaan yang akan membuat laporan keuangan, regulator (Bapepam dan BI) yang akan mewajibkan perusahaan menggunakan standar akuntansi berbasis IFRS ini.
Percuma saja apabila Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) mengeluarkan standar akuntansi yang berbasis IFRS tetapi para pemangku kepentingan tidak dapat memahami dan menerapkannya.
Perubahan besar
Banyak pihak yang belum menyadari bahwa standar akuntansi di Indonesia sedang mengalami perubahan besar-besaran.
Contoh beratnya proses konvergensi IFRS di Indonesia mungkin bisa dilihat pada upaya DSAK untuk menerapkan PSAK 50 dan 55 mengenai instrument keuangan. Standarnya sendiri sudah terbit tahun 2008 untuk berlaku efektif 1 Januari 2009.
Namun karena besarnya tekanan dari industri keuangan yang menyatakan ketidaksiapannya, pada akhir tahun 2008 standar akuntansi ini ditangguhkan penerapannya ke 1 Januari 2010.
Saat ini tahun 2009 hanya tersisa kurang lebih 3 bulan dan banyak pihak yang sebenarnya berharap-harap cemas agar Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 50 dan 55 ini diundur kembali penerapannya. Beberapa pihak mengeluh besarnya investasi di bidang sistem informasi dan IT yang harus dipikul perusahaan demi untuk mengikuti persyaratan yang diharuskan dalam PSAK 50 dan 55.
IFRS adalah standar yang kompleks, tidak hanya yang terkait dengan instrumen keuang-an. Compliance cost bagi perusahaan tentunya tidak sedikit.
Pertanyaan penting berikutnya adalah akankah semua compliance cost ini dibebankan kepada perusahaan? Mungkinkan pemerintah maupun regulator memberikan insentif ataupun keringanan pajak bagi perusahaan-perusahaan yang akan fully comply dengan PSAK 50 dan 55?
Bagi lembaga keuangan besar dengan sistem IT yang mutakhir mungkin tidak terlalu bermasalah, tetapi bagaimana dengan bank-bank menengah dan kecil, perusahaan reksadana, dan semacamnya?
Pertanyaan yang sama bisa juga diajukan kepada industri pemeriksa keuangan, kantor akuntan publik besar mungkin akan lebih siap, tetapi bagaimana dengan kantor akuntan menengah dan kecil?
Mampukah para auditor menyatakan bahwa suatu perusahaan sudah sesuai atau tidak sesuai dengan persyaratan PSAK 50 dan 55? Apakah Bank Indonesia sebagai regulator juga sudah mempersiapkan para pengawas banknya dengan pemahaman yang memadai mengenai penerapan PSAK 50 dan 55 ini? Tentunya sangat disayangkan apabila mayoritas bank di Indonesia akan mendapatkan opini audit disclaimer untuk laporan akuntansi 2010 karena gagal memenuhi persyaratan PSAK 50 dan 55.
Salah satu alasan pihak-pihak yang meminta penangguhan karena IASB (Dewan Standar Akuntansi International pembuat IFRS) baru saja menerbitkan exposure draft baru untuk mengubah standar mengenai instrumen keuangan ini. Usulan yang baru diduga akan menyederhanakan standar sebelumnya yang sangat rumit.
Mengapa DSAK tidak menangguhkan dan menunggu saja sampai standar akuntansi untuk instrumen keuangan ini stabil dan tidak berubah lagi. Mungkin ini dapat menjadi alasan yang cukup argumentatif. Bukankah konyol apabila perusahaan melakukan investasi IT besar-besaran demi mengikuti standar akuntansi yang rumit untuk kemudian 2 atau 3 tahun kemudian standar akuntansinya berubah menjadi lebih sederhana?
Tahun 2010 berpotensi terjadi gempa bumi akuntansi karena IAI tampaknya tidak akan mempan dibujuk untuk menangguhkan kembali tanggal efektif PSAK 50 dan 55 apa pun alasannya.
Penangguhan kembali PSAK 50 dan 55 juga berpotensi menimbulkan preseden buruk bahwa suatu standar akuntansi dapat dengan mudah ditangguhkan karena ketidaksiapan industri. Bila tidak dipaksa lalu bilamana dan kapan perusahaan akan siap?
Bayangkan dampak PSAK 50 dan 55 saja sudah demikian memberatkan para perusahaan, bagaimana dengan sekitar 20-an standar baru yang akan dikeluarkan IAI sampai tahun 2011? Sampai tahun 2012 gempa bumi akuntansi di Indonesia mungkin akan sering terjadi bersamaan dengan kerapnya public hearing yang akan dilakukan IAI. Siapkah dunia bisnis Indonesia?
sumber : http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id143212.html
Kamis, 29 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar